Headlines News :

Entertainment

Home » » FUNGSI PERS DAN KODE ETIK JURNALISTIK

FUNGSI PERS DAN KODE ETIK JURNALISTIK

Written By rumah karya on Jumat, 29 Oktober 2010 | 04.24

Salah satu istilah dalam dunia jurnalistik yang sering kita dengar adalah pers. Banyak ahli yang menyamakan pengertian antara pers dan jurnalistik, namun sebagian mereka cenderung membedakannya. Jurnalistik merupakan suatu proses, sedangkan pers adalah produk dari proses tersebut.
Secara umum, ada 4 (empat) fungsi yang dimainkan oleh pers, yaitu fungsi informasi, fungsi hiburan, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.

FUNGSI INFORMASI adalah fungsi pers yang paling standar. Munculnya jurnalistik adalah karena adanya informasi yang hendak disampaikan oleh pihak tertentu kepada khalayak masyarakat.

FUNGSI HIBURAN juga cukup penting, karena manusia membutuhkan hiburan di sela-sela kehidupannya yang serba serius.


FUNGSI PENDIDIKAN dari pers tak kalah penting, karena pada dasarnya manusia membutuhkan berbagai tuntunan dan pelajaran dalam hidupnya. Pers diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik bagi pengembangan kepribadian manusia.

FUNGSI KONTROL SOSIAL merupakan fungsi yang paling banyak disinggung dalam setiap perbincangan mengenai pers. Hal ini disebabkan kehidupan manusia tak pernah mencapai kondisi ideal seperti yang dicita-citakan setiap agama maupun ideologi. Hidup kita dikelilingi oleh ketidakadilan, penyimpangan nilai-nilai moral, kejahatan yang makin brutal, penindasan, dan sebagainya. Di sinilah pers ikut menjalankan peran untuk saling mengingatkan sesama manusia.

Jadi jelaslah, pers memiliki kedudukan yang sangat penting dalam perjalanan suatu bangsa. Pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itu, pers memiliki pengaruh yang amat besar terhadap masyarakat. Banyak budaya masyarakat yang berubah karena pers, baik perubahan yang positif maupun negatif.

KODE ETIK JURNALISTIK
Standar baku etika jurnalistik yang kini berlaku disebut Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang harus ditaati semua wartawan Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers. KEWI meliputi tujuh hal sebagai berikut:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia oleh Dewan Pers --sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers-- melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Mengenai cara penyajian atau pemberitaan terserah style redaksi masing-masing media, asalkan tidak melanggar KEWI di atas. Lalu soal bahasa, ada ketentuan tentang Bahasa Jurnalistik yang secara umum berciri khas kalimatnya pendek-pendek, mudah dimengerti, dan langsung ke pokok masalah alias tanpa berbunga-bunga (straight to the point).
Kesalahan isi berita harus diralat oleh redaksi. UU No. 40/199 tentang Pers menetapkan adanya Kewajiban Koreksi kepada penerbitan pers. Masyarakat juga berhak memberikan Hak Jawab --berupa sanggahan misalnya-- dan Hak Koreksi yang wajib dilayani penerbitan pers (Pasal 5 ayat 2 dan 3), jika merasa keberatan dengan sebuah berita. Jika sebuah penerbitan pers tidak melayani Hak Jawab, maka ada ketentuan pidana yang bisa menyeretnya ke pengadilan (Pasal 18 ayat 2). Denda maksimumnya Rp 500 juta. Tentang penganiayaan terhadap wartawan itu sudah masuk tindak pidana dan urusan polisi. Setiap wartawan dan organisasi wartawan harus membantu agar penganiaya dihukum tegas dan wartawan teraniaya mendapatkan perlindungan maksimal dari aparat.
Pada dasarnya bahasa jurnalistik di media internet dengan media cetak sama saja, karena sama-sama dibaca (bahasa tulisan). Berbeda dengan kemasan bahasa untuk televisi dan radio yang harus menggunakan bahasa tutur. Hanya saja, untuk di internet kalimat-kalimatnya harus sepadat dan sesingkat mungkin karena para netter tentu harus berhemat dengan pulsa.
PELAKSANAAN KODE ETIK
Kode Etik Jurnalistik pers Indonesia sudah ditetapkan Dewan Pers sesuai mandat UU No. 40/199 tentang Pers, yakni Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Soal KEWI sudah dibahas dalam edisi sebelum ini. Yang jelas, KEWI tidak mengikat secara hukum, tetapi secara moral. Jadi, moralitas wartawanlah yang mendorong dia mematuhi atau tidak KEWI itu. Pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan KEWI juga diserahkan kepada manajemen redaksi masing-masing media.
Yang dimaksud dengan “kode etik jurnalistik media masing-masing”, penjelasannya begini. Masing-masing media massa itu punya visi dan misi tersendiri. Visi dan misi itu menentukan positioning dan segmentasi pasar, juga gaya bahasa (style) dalam pemberitaan. Gaya bahasa "Rakyat Merdeka" misalnya lebih memilih gaya bombastis atau sensasional. Namun diakui, pemberitaan koran tersebut banyak yang menyimpang dari kode etik jurnalistik, misalnya tidak memisahkan antara fakta dan opini dalam menulis berita, karena mengejar sensasionalitas berita itu tadi.

Langkah pertama untuk terjun ke dunia jurnalistik adalah motivasi kuat dan semangat pantang menyerah. Kedua hal itu akan membuat Anda terus belajar, berlatih, rajin membaca buku, dan terus menulis, meskipun tulisan Anda misalnya terus-menerus ditolak.
Anda dan peminat profesi penulis pada umumnya, harus memiliki tekad dan keuletan --termasuk di dalamnya kesabaran-- dalam meraih keinginannya. “Jangan berharap akan menjadi penulis profesional --sekali lagi, profesional-- dalam waktu singkat,” tegas Harry Edward Neal (1959). “Menulis adalah seni. Untuk menjadi penulis profesional Anda harus merencanakan studi dan bekerja dengan sungguh-sungguh, seperti seorang pelajar piano yang ingin tampil di panggung, berlatih mati-matian secara konsisten,” imbuhnya.
Saat penulis A.C. Spectorsky (1959) memberi tugas bagi penulis pemula, yang ia tugaskan bukan menulis, melainkan meluangkan waktu untuk menyepi, lalu merenung, berpikir sepanjang hari, dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya akan menjadi penulis?” Hal itu dilakukan, “Karena banyak orang yang ingin jadi penulis, namun hanya beberapa yang benar-benar mau menulis,” ungkap Spectorsky.
Kemauan atau ambisi untuk dapat menulis (menjadi penulis) akan menimbulkan semangat, keuletan, dan mendorong seseorang melakukan apa saja yang memungkinkannya mencapai kemampuan menulis. Misalnya mengikuti pelatihan jurnalistik, membaca buku-buku petunjuk menulis, berlatih, dan sebagainya. Di sini berlaku pepatah, “Di mana ada kemauan di sana ada jalan” atau “siapa yang sungguh-sungguh pasti mampu mewujudkannya” (man jadda wajada). Jangankan penulis pemula, penulis yang “sudah jadi penulis” pun jika tidak ada kemauan, tidak akan membuat tulisan/artikel.
JURNALISTIK ISLAMI
Jurnalistik Islami merupakan salah satu jawaban terhadap berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam. Kita harus berupaya menjadikan jurnalistik Islami sebagai “ideologi” para jurnalis Muslim, demi membela kepentingan Islam dan umatnya, juga mensosialisasikan nilai-nilai Islam sekaligus meng-counter dan mem-filter derasnya arus informasi jahili dari kaum anti-Islam.
Jurnalistik Islami dapat dimaknakan sebagai “suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam kepada khalayak, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam”. Dapat juga jurnalistik Islam dimaknakan sebagai “proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam”.
Jurnalistik Islami bisa dikatakan sebagai crusade journalism, yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam. Jurnalistik Islami mengemban misi ‘amar ma'ruf nahyi munkar' (Q.S. 3:104).
Jadi, jurnalistik Islami adalah upaya dakwah Islamiyah juga. Karena jurnalistik Islami bermisi ‘amar ma’ruf nahyi munkar, maka ciri khas jurnalistik Islami adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah Swt. Ia berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan/khalayak, agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Jurnalistik Islami tentu saja menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan pornografis, menjauhkan promosi kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti fitnah, pemutarbalikkan fakta, berita bohong, mendukung kemunkaran, dan sebagainya. Jurnalistik Islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan menawarkan solusi Islami atas setiap masalah.
Karena jurnalistik Islami adalah jurnalistik dakwah, Setiap jurnalis (wartawan) Muslim berkewajiban menjadikan jurnalistik Islami sebagai “ideologi” dalam profesinya. Baik jurnalis Muslim yang bekerja pada media massa umum maupun --apalagi-- pada media massa Islam. Karena dakwah memang merupakan kewajiban melekat dalam diri setiap Muslim.
Jurnalis Muslim memang akan sulit mengemban misinya atau mematuhi “ideologi jurnalistik Islami”-nya, jika ia bekerja pada media massa non-Islam, atau media yang jauh dari misi Islami, karena ia kemungkinan terbawa arus dan terkena kebijakan redaksional yang tidak committed akan nilai-nilai Islam.
Jurnalis Muslim adalah sosok jurudakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah bil qolam (dakwah melalui tulisan). Ia adalah jurnalis yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam. Karena jurudakwah yang menebarkan kebenaran Ilahi, jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.
Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.
Jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang bergama Islam dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa. Setidaknya ada lima peranan jurnalis Muslim, yaitu:
1. Sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam daru rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali --melakukan investigative reporting-- tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
4. Sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi [both side information] harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
5. Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang-pembela Islam. Melaui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat. Peran kelima ini, sebagai Mujahid, sebenarnya menyimpulkan keempat peran sebelumnya.
Disarikan dari:
1. Jonriah Ukur, Content Editor pada situs www.cbn.net.id dan redaksi pada situs www.penulislepas.com
2. ASM Romli, pengasuh forum kontak jurnalistik@eramuslim.com

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Foto - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template