Headlines News :

Entertainment

Home » » Menyulam Kelam (Bagian 2)

Menyulam Kelam (Bagian 2)

Written By rumah karya on Selasa, 12 Oktober 2010 | 16.26

“Astaughfirullah.”
Aku terpekik dengan hasil analisaku. Benar apa yang dikatakan sopir pak Masparasit, tidak masuk akal. Ingatanku kembali menerawang ke kejadian tadi, “Pak Harun Nasution lulusan Amerika. Beliau sudah beberapa kali mendapat penghargaan dari pemerintah, karena sumbangsihnya dalam pendidikan. Dan sekarang mengajar di Universitas ANDALAS. Beliau juga dosen terbang di ITB Bandung. Menjelaskan alamat dengan sangat detail. Seakan menerangkan alamat sendiri. Cepat akrab. Saling tukar nomor. Pembicaraan yang saling menguatkan. Mimik yang mencurigakan. Koin pembawa penyakit. Melalaikan perintah kakek tua dalam mimpi. Anak belum dirawat di rumah sakit M. Djamil Padang. Uang registrasi yang belum cukup. Menyerahkan koin kepada pemilik sawit atau orang pertama yang pertama kali ditemui, dalam hal ini adalah aku.” Semuanya janggal. Sekarang aku baru bisa merasakan semua itu. Kenapa tadi tidak? Apakah aku diguna-guna? Ah, tidak mungkin. Aku manggut-manggut mengerti sekarang. Perenunganku berhasil membuka simpul-simpul syaraf otak. Hampir saja aku masuk perangkat. Untung Allah menyelamatkanku lewat telpon pak Masparasit. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin aku akan terus mengumpat karena kebodohan sendiri.
“Jika kamu menolong (Agama) Allah, Allah pasti menolongmu.”

***
Matahari mulai menuruni tangga langit, yang semula tegak, kini mulai condong ke Barat. Mengurangi terik. Mega-mega putihpun saling berebutan melindungi bumi. Teduh. Sejuk. Angin sepoi-sepoi. Dedaunan menari-nari. Pepohonan melik-liuk. Semuanya menunduk, memuji keagungan Tuhan.
“Bagimana mana hasilnya, Wan?” Kak Hamid bertanya.
“Belum ada. Handpone pak Gamawan Fauzi -Gubernur- tidak aktif. SMS juga tidak dibalas. Tampaknya beliau sibuk sekali. Pak Masparasit juga mencoba mengajukan ke-Dewan Penegak Syariat Islam. Seminggu lagi diminta ke sana.”
“DPRD, bagaimana?”
“Anggaran untuk itu tidak ada. Semuanya sudah dimasukkan kedalam anggaran Gubernur.”
“O.”
Kak Hamid kembali menyapu Mushallah yang sempat terhenti karena kedatanganku. Aku lebih memilih istirahat dalam kamar, lelah. Seharian aku keliling kota, keinstansi-instansi mengajukan proposal. Hampir semua instansi di kota Padang aku kunjungi. Tapi, hasil nyata belum tampak.

****

“Tit... tit... tit....”
Keras sekali klason mobil memanggil-manggil di luar.
“Kak, saya pamit dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan.”
“Do’anya. Assalamu’alaikum.”
Aku segera berlari keluar. Terburu-buru. Tidak enak sama sopir travel yang sudah lama menunggu.
“Ayo, Dik. Kita musti buru-buru. Masih banyak penumpang yang akan dijemput.” Ujar sopir tersebut dari dalam mobil.
“Ya, Bang. Ma’af, tadi saya ketiduran lagi setelah Shubuh.” Aku segera masuk ke dalam. Duduk di jok paling belakang. Baru beberapa penumpang. Dua wanita di samping sopir. Dua lelaki dibelakangnya. Dan dua laki-laki di depanku. Semuanya berjumlah tujuh orang denganku. Masih kurang lima penumpang lagi, agar semua bangku terisi. Mobil segera melaju meninggalkan Mushallah Nurul Ihsan, Penjernihan II. Hari ini aku pulang kampung, mengajukan proposal di sana. Biasanya aku pulang naik bus di Bay Pass, tempat bus biasa nongkrong. Atau langsung ke terminal Aia Pacah (baca: Air Pecah). Tapi, terlalu jauh. Bus dari terminal semuanya melewati Bay Pass. Untuk menghemat waktu, biasanya aku langsung ke Bay Pass dengan menaiki angkot dua kali. Semenjak travel menjamur, tak pernah lagi naik bus. Walaupun harganya lebih mahal. Tapi, yang jelas memuaskan. Kita di jemput dan diantar ke alamat.

Persiapan ke Mesir, aku dituntut untuk banyak belajar. Belajar bagaimana berusaha, bersabar, sekaligus mengurus semua keperluan, baik berupa administrasi ataupun lainnya. Banyak sekali hal-hal baru yang aku dapatkan dalam perjuangan ini. Sangat menyenangkan. Suatu saat nanti akan kutulis dengan tinta emas. Kenang-kenangan di hari tua. Mobil terus melaju jauh meninggalkan Mushallah tempatku dan kakakku tinggal. Sebelumnya aku indekost. Semenjak tamat dan lulus tes ke Mesir, aku memustuskan untuk tinggal di Mushallah. Ngirit uang. Sebenarnya Mushallah tempatku tinggal hanya untuk dua orang saja, kakakku dan temannya. Lantaran aku sering shalat dan Imam di sana, pengurus akrab denganku. Ketika aku mengutarakan keinginan untuk tinggal sementara, mereka -para pengurus- tidak keberatan. Meski tidak digaji seperti halnya mereka, aku sama sekali tidak keberatan.
Di kelas satu dulu, aku tinggal di Asrama yang diapit oleh dua sekolah, Tsanawiyah dan Ibtidayyah. Dari sekolah, letaknya tidak terlalu jauh. Cukup berjalan lima menit. Kelas dua dan tiga aku indekost. Karena Asrama tidak lagi diperuntukkan untuk laki-laki.
By Pass ramai sekali. Mobil-mobil berseliweran. Simpang yang memebelah jalan jadi empat, macet. Antrian di setiap sudut simpang memanjang. Belum lagi macet disebabkan bus-bus yang berjejal-jejal di pinggir jalan, membuat jalan yang semula luas jadi sempit.
Di luar jendela mobil, kulihat para kernek berteriak-teriak, mencari penumpang.
“Solok... solok....”
“Sangir... Sangir....”
Berlomba. Adu suara. Adu ketangkasan dalam menggaet penumpang. Perlombaan yang menarik untuk dinikmati.

Mobil mulai menanjaki tanjakan tinggi, Si Tinjau Lawik. Di sisi kanan, jurang menganga lebar. Curam dan terjal. Siap memangsa yang kurang hati-hati. Sedang di sisi kiri, bukit berbatu tegak mematung, menyaksikan arus lalu lintas yang tak pernah sepi dan berhenti. Di sisi bukit, terpampang papan peringatan, “warning! hati-hati longsor.” Batu-batu bukit itu tidak melekat erat. Dan siap meluncur bila hujan, menghantam jalanan. Hutan-hutan masih hijau. Hanya satu dua bukit yang gersang tanpa pepohonan. Sebuah bukit yang di gasak oleh PT tua, Semen Padang, untuk bahan Semen. Bukit tersebut tampak putih dari kejauhan. Truk-truk. Traktor. Buldoser. Mesin Cangkul. Para pekerja, semua terlihat berupa titik-titik kecil dari kejauhan. Di sepanjang perjalanan, hanya bukit-bukit hijau yang menghampar. Menjulang tinggi. Mencakar langit.
Jarak antara Padang dengan kampungku lumayan jauh, enam jam perjalanan. Itu jikalau mobilnya normal. Tidak mogok. Jalanan berliku-liku tajam. Sempit. Kalau tidak hati-hati bisa tabrakan. Atau masuk jurang. Kebun-kebun teh menghampar hijau. Rindang. Sungguh luar biasa. Asri tiada terkira. Lebih kurang setengah jam, mobil berhenti, turun makan. Setiap mobil dari Padang, biasanya berhenti di tempat ini, Alahan Panjang. Sebuah perkampungan yang sangat dingin. Di Sumatera Barat ada dua daerah dingin, Bukit tinggi dan Alahan Panjang. Aku turun, perut lapar sekali, tadi tidak sempat sarapan, terburu-buru.

“Mbak nggak turun?” Tanyaku pada seorang wanita muda berjilbab pink.
“Nggak, masih kenyang.”
Aku langsung bergegas turun. Tapi tidak langsung ke rumah makan, ke sungai. Membuang semua beban kecil dan besar, sekaligus cuci muka yang kucel kena debu. Setelah itu baru ke rumah makan, mengganjal perut. Seperti biasa, aku memesan gulai ayam dan satu teh hangat. Luar biasa, nikmat sekali. Berkali-kali aku minta tambah pada pelayannya.
“Ah, kenyang....” Celetukku sambil menarik nafas dalam. Aku segera membayar ke kasir. Sebelum akhirnya ke mobil menunggu penumpang lain. Baru saja kakiku melangkah meninggalkan rumah makan, sayup-sayup kudengar suara wanita memanggil-manggil dengan nada gusar.

“Pak... pak... pak....”
Tidak jelas ke arah siapa panggilan itu ditujukan. Aku menoleh ke asal suara. Seorang gadis remaja dengan baju serba ketat. Suara itu mengundang perhatian orang, penasaran. Berbondong-bondong orang ke asal suara. Nafas wanita itu tersenggal-senggal. Wajahnya berkeringat. Pucat. Seakan menyimpan suatu beban.
“Ada apa?” Tanya seorang bapak-bapak. Bapak itu adalah kasir tempatku membayar tadi.
“Ada perempuan dan bayi.”
“Seorang perempuan dan bayi? Bapak tersebut kembali mengulang. Bingung akan maksudnya.
“Di WC kita ada seorang perempuan paruh baya. Awut-awutan. Kusut. Bajunya kumuh. Wajahnya kucel tak terawat. Sedang di depannya ada seorang bayi. Pusarnya masih panjang. Tapi, sudah tak terlihat tarikan nafas.” Terperanjat semua yang mendengar. Semuanya berhamburan ke arah yang di maksud. Benar, seorang perempuan kumuh dengan seorang bayi tidak bernyawa di depannya. Wanita kucel tersebut tergeletak. Tapi, masih ada tarikan nafas.
“Innalillaahi wainnalillaahi rooji’un.” Hampir bersamaan orang mengucapkan kata itu.
“Apa yang terjadi ini? Siapa yang tega melakukan ini?” Pertanyaan bapak itu mengawang. Hilang tanpa jawaban.
“Sungguh sangat tidak berperikemanusiaan. Kasihan sekali dia.”
Semua orang heran mendengar ucapan bapak itu.
“Apa maksud Bapak dengan mengatakan, ‘siapa yang tega melakukan ini?” Tanya salah seorang ibuk-ibuk. Pertanyaan itu sekaligus mewakili yang lain. Bapak tersebut diam sejenak. Mengelus-elus dagunya yang ‘tak berkumis.
“Pastinya saya tidak tahu. Yang jelas dia sering muncul di sini. Dia sedikit ada kelaianan jiwa. Terakhir dia datang 7 bulan yang lalu. Tidak ada tampak buncit pada perutnya. Saya tidak habis pikir ada orang yang tega menghamili dia.” Padat bapak tersebut menjelaskan. Dari rautnya tampak rasa geram, marah, sekaligus kecewa.
“Kenapa bayi itu meninggal?” Tanya ibuk itu kembali.
“Saya tidak tahu.”
Kemudian wanita itu diangkat untuk dirawat. Sedangkan anaknya dimandikan sebelum kemudian dikebumikan. Keji sekali orang yang telah menghamili perempuan malang itu. Bukannya ditolong. Malah di sakiti. Zaman edan. Kalau nafsu mengubun, apapun bisa terjadi. Termasuk kambing sekalipun bisa digarap. Nafsu binatang. Tak pandang-pandang. Aku tidak sempat menyaksikan kelanjutan peristiwa itu. Sopir travel keburu memanggil.
“Kasihan sekali wanita itu ya, Dik.” Komentar seorang bapak di sebelahku.
“Iya, Pak.”
“Kok ada orang yang tega berbuat demikian. Benar-benar keji.” Lanjutnya dengan nada geram.
“Semoga saja kasus ini segera terungkap.”
“Ya, semoga saja.”

****

Setelah enam jam perjalanan, akhirnya aku sampai di perempat jalan menuju rumah. Harus berjalan satu jam terlebih dahulu, menanjaki tanjakan tinggi yang beronggok-onggok, untuk sampai ke rumah. Biasanya aku di jemput. Kali ini mungkin ayah sibuk, sehingga tidak bisa menjemputku. Dulu, tidak perlu berjalan kaki, bus-bus atau travel-travel langsung ke Desa. Tapi, semenjak jalanan rusak parah, tidak ada lagi kendaraan umum yang berani mengambil resiko. Di sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah ladang-ladang hijau, sungai-sungai dan danau-danau kecil.
Dengan penuh keletihan, akhirnya aku sampai juga di depan rumah. Masih seperti dulu, halamannya gersang. Tak ada bunga-bungaan yang menghiasi. Di daun pintu, kulihat adik bungsuku sedang menutup pintu. Mengusir ayam ayam yang bertengger di sana. Ayam-ayam di kampungku tidak sopan, itu sebabnya pintu harus ditutup. Ketika melihatku, ia urungkan niat itu.

“Ibu! Udo iwan pulang!” ia berteriak senang. Berlari menghampiriku. Mencium tangan.
“Gimana belajarnya, Ti?” Tanyaku padanya. Pertanyaan itulah yang sering aku ajukan setiap kali berjumpa dengannya. Dia agak pemalas, tapi agresif. Namanya Hidayati. Biasa aku panggil Yati. Anaknya agresif. Rajin.
“Alhamdulillah lancar. Udo gimana juga kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Ayah dan Ibu ada di rumah?”
“Ibu ada. Ayah belum pulang.”
“Kemana?”
“Jualan keliling.”
“O.”
“Do, mana ole-olenya?”
“Tenang. Udo bawa banyak. Ayo kita masuk.”
“Horeeee!” Ia jingkrak-jingkrak mengiringi langkahku. Aku geleng-geleng senang memperhatikan tingkahnya yang lucu dan masih kekanak-kanakan. Setiap aku pulang, ia tak pernah lupa menanyakan ole-ole. Aku sedih, jika tidak bisa membawakan ole-ole untuknya. Yati, Yati….


****

“Ibu menyarankan, sebaiknya kamu pakai motor Angku (baca: Paman) Bustami saja. Motor beliau masih baru. Tidak seperti motor Ayahmu, sering sakit-sakitan.”
“Iya, Bu. Besok Iwan akan coba pinjam. Semoga saja tidak dipakai.”
“Besok biar ayah antar.” Ayahku menimpali.

Kampungku namanya Abai Sangir. Desa pribumi. Tidak ada campuran dengan penduduk manapun. Jikalaupun ada, bisa dihitung. Jalanan di sana sudah di aspal kasar. Listrik sudah masuk. Desanya ramai. Seluruh sanak-saudaraku tinggal dan hidup di sana. Sedang aku, ayah, ibu dan adik-adikku tinggal di Transmigrasi. Yang terletak tidak jauh dari Abai Sangir, kampung asliku.
Keesokannya kami berangkat dengan Supra tua andalan ayah dalam berdagang keliling. Motor itu sebenarnya motor baru, hanya karena dipaksa terus bekerja, meyebabkan ia tua dan sakit-sakitan, ditambah medan yang jelek. Untuk menghemat waktu, kami menempuh jalan pintas, melewati hutan kecil yang sepi. Berbukit-bukit. Semula hutan ini tidak ada yang memanfaatkan. Sekarang sudah banyak yang berladang di sana. Semenjak zaman bertambah maju, jalan ini kemudian diperbaiki dan di perlebar. Jalan pintas ini bertemu dengan jalan utama, jalan yang menghubungkan dengan Desa tetangga. Dipinggir jalan utama, mengalir sungai, sungai Tantiak. Di pinggir sungai ini ladang-ladang kacang, jagung, menghampar. Rata-rata sebagian penduduk, terutama yang tua-tua, menghabiskan hari-harinya di sini.
“Ayah hanya bisa menyediakan ke perluanmu. Sedang mengurus sesuatunya, ayah serahkan padamu.” Ayahku membuka pembicaraan.
“Insya Allah, Yah. Iwan akan berusaha.” Jawabku tersenyum, sambil terus memperhatikan pemandangan yang eksotik itu.
Ayahku hanyalah seorang petani. Beliau tidaklah terlalu mengenal seluk-beluk administrsi negeri ini. Pendidikan beliau hanya sampai SD, itupun tidak selesai, hanya sampai kelas lima. Keadaan yang memaksa beliau untuk hanya sampai di situ. Sebagai gantinya, beliau belajar di luar, kepada guru-guru ngaji. Dan ditambah dengan membaca buku. Dari sanalah beliau mendulang ilmu.
Sebuah bangunan berbentuk rumah gadang (baca: Besar) tegak memanjang. Di depan bengunan tersebut berdiri sebuah plang putih bertuliskan “Kantor Camat Sangir Batang Hari,” sebuah kecamtan di Solok Selatan.
Lebih kurang setengah jam, kamipun sampai di rumah. Tidak ada siapa-siapa yang kami jumpai, hanya nenek dan anak bibiku, Frengki. Kakek, bibi serta suami beliau tidak ada.
“Kakek dan Bibi Anti, kemana, Nek?” Tanyaku pada beliau yang sedang memasak di dapur.
“Belum pulang kerja.” Sambil meneruskan pekerjaannya.
“O.”

Hanya duduk beberapa menit, kemudian aku melanjutkan perjalanan ke rumah angku Tami, berjalan kaki. Ayah sudah kembali ke Trans. Banyak pekerjaan yang harus beliau selesaikan. Jarak rumahku dengan rumah angku Tami tidak jauh. Hanya beberapa menit saja sampai.
Di pelataran rumah bercat kuning, kulihat berdiri sebuah sepeda motor merah. Mengkilat. Pintu rumah tidak ditutup. Gorden kaca digulung. Isi rumah terlihat jelas dari luar, karena kaca jendelanya yang bening.
“Tok... tok…”
“Assalamu’alaikum.”
Tak ada suara yang menjawab salamku. Kusapu pandangan ke penjuru rumah, sepi. Tak lama aku menunggu, sejenak kemudian keluar seorang ibu paruh baya, mengenakan daster coklat dengan kain panjang melilit pinggang hingga kaki.
“Wa’alaikum salam. Eh, Iwan” Jawabnya ramah. Menghampiriku. “Silahkan masuk. Jangan berdiri di situ.”
“Terima kasih, Ngai (baca: Ibu).”
“Kapan dari Padang.”
“Kemarin.”
“Sendirian?”
“Iya.”
“O.”
“Angku Tami ada?” Tanyaku langsung ke tujuan.
“Ada. Sebentar, ya. Biar Ingai panggilin.”

Rumah yang sederhana. Almari potong penuh alat pecah belah. Sofa kuning. Meja makan cokelat di daun pintu dapur. Tirai-tirai dari keong kecil. Gorden pink. Keramik putih dengan karpet hijau menghapar di atasnya. Teko merah. Dua gelas kaca kosong. Kesemuanya tertata rapi. Tak lama kemudian dari arah belakang muncul seorang lelaki tinggi besar, kekar, tegap. Posturnya bak postur tentara, ditambah dengan baju kaos ketat yang menempel di badan. Beliaulah orang yang kucari, angku Bustami.
“Iwan! kapan pulang?” Tanya beliau senang. Pertanyaan andalan. Ini memang sudah menjadi kebiasaan. Setiap ada yang pulang dari rantau, baik pelajar atau pekerja. Pertanyaan yang pertama kali muncul, ‘kapan pulang.’ Dan uniknya tak pernah basi.
“Kemarin, Ngku.”
“Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Angku sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, cuma sedikit flu.” Menyeka air bening yang keluar dari hidungnya. “Pulang tambang kemarin hidung mampet. Masuk angin.” Tambah beliau.
“Semoga cepat sembuh.”
“Amiin. Oya, ada yang bisa Angku bantu?” Baru saja aku akan menyatakan tujuan, beliau mendahului.
“Begini, Ngku. Sehubungan dengan kuliah ke Mesir. Iwan mau pinjam motor untuk pengurusan proposal. Apa Angku tidak keberatan?”
“O tentu tidak! Dengan senang hati Angku akan pinjamkan.”
“Nanti Angku pergi ke tambang pakai apa?”
“Itu masalah gampang. Nanti bisa numpang sama teman.” Beranjak dari tempat duduk.
Dari arah dapur mertua beliau muncul membawa minuman.
“Silahkan diminum, pak Ustazd.”
Aku tersenyum kecil dipanggil dengan pak Ustadz.
“Terima kasih, Ngai.”
“Ngomong-ngomong, kapan berangkat ke Mesir-nya?”
“Insya Allah bulan September. Tanggal pastinya belum tahu.”
“O. Ayo silahkan diminum.” Kembali menawarkan, sambil beranjak meninggalkanku.
Tak lama kemudian, angku Bustami muncul.
“Ini kuncinya. Ada uang beli minyak?” Aku tersenyum kecil.
“Kebetulan minyaknya mau habis. Beli saja nanti, ini uangnya.” Menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan.
“Terima kasih, Ngku.”
Aku senang punya Paman seperti beliau. Tidak pelit. Penyayang kepada anak kemenakannya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Foto - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template