Headlines News :

Entertainment

Home » » Amuk Badai

Amuk Badai

Written By rumah karya on Jumat, 22 Juli 2011 | 15.27


Supriono betul-betul tidak tahu harus berbuat apa lagi, uang ditangannya sudah tipis, di jaman yang moneter ini dapat apa dengan uang segitu. Ia pusing delapan keliling. Pekerjaannya sebagai pemulung kardus tidak bisa membawa anaknya, Titi, yang sedang sakit ke puskesmas, boro-boro Dokter. Sebagai pemulung, ia hanya bisa mengumpulkan sepuluh ribu perhari, itu pun kadang-kadang sebagiannya diperas oleh para pemalak.

Ia termenung disamping gerobak kumuhnya. Duriki, anak lelakinya berlari-lari riang disampingnya, ia tak mengerti kalau bapaknya sedang dalam masalah. Yang ia tahu hanya bermain dan bermain, karena memang usianya yang masih kecil, tujuh tahun. Di dalam gerobak kumuh itu terkapar seorang gadis kecil, wajahnya pasi, tubuhnya kurus. Sesekali merintih.

“Pak sakit… sakit pak….”
“Sabar ya, Nak, sebentar lagi Titi sembuh, kok. Nanti kita main bersama lagi.”

Hanya kata itu yang bisa diucapkan Supriono untuk mengobati anaknya tersebut. Supriono tak sanggup membawa anaknya kerumah sakit, karena tak ada uang. Hanya sekali ia membawanya ke puskesmas, setelah itu tak pernah lagi. Tidak ada yang bisa dipinjaminya, karena mereka juga memang pas-pasan. Tinggallah Supriono dengan penderitaan, tanpa ada yang meliriknya. Pemerintah yang mendengung-dengungkan pengobatan gratis untuk kaum miskin tak pernah ia dapatkan. Pernah suatu ketika ia meminta surat miskin, tapi ditolak, dengan alasan, “Anda bukan orang sini”. Semenjak itu ia tak pernah lagi mengurusnya. Fokus pada pulungannya.

Semua beban itu ia pikul sendiri, karena istrinya telah meninggal. Ya, dua tahun silam ia pergi dengan tekanan batin. Dua anaknya itulah kini yang setia membantu.
Hidup di Tebet membuat ia susah bernafas. Semua penuh dengan sesak oleh mereka yang terpelajar, mereka yang duduk gagah di atas kursi-kursi empuk. Bahkan yang terpelajarpun terkadang tak jauh lebih baik dari nasibnya. Apalagi Supriono yang bukan orang berpendidikan tinggi, sekolahnya hanya sebatas Sekolah Menengah Atas saja. Keahliannya juga tidak ada, kecuali memulung dan memilah tumpukan sampah.
Tatapannya kosong. Air matanya tak terasa menetes disela pipi yang mulai keriput dan mengkerut tak terawat. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ditatapnya anaknya itu dengan mata nanar. Tulang-tulang badannya sudah terlihat jelas, anak tiga tahunan itu semakin kecil badannya.

“Sabar, ya, Ti. Tidak lama lagi Titi akan sembuh.”
“Bapak, nanti aku ingin sekolah seperti mereka,” Menunjuk kekumpulan anak-anak yang
baru pulang sekolah. “aku ingin jadi presiden, aku ingin membantu orang miskin. Berobat gak perlu bayar. Biar nanti, kita tidak memulung kardus lagi. Boleh ya, pak. Boleh, ya.”
Semakin jatuh air matanya mengingat cita-cita mulia anaknya itu. Ia hanya menjawab dengan senyuman,
“Mulia benar cita-citamu, nak. Tapi entahlah, rasanya bapak tidak mungkin bisa memenuhinya. Dapat makan saja kita bersyukur.” Gumamnya dalam hati.
Perlahan kekuatan anaknya semakin lemah. Terlalu kecil bagi dia untuk menahan sakit. Dan akhirnya, nafas terakhir pun dihembuskan dipangkuannya. Supriono hanya bisa menangis menyesal tak bisa berbuat banyak untuk menolong. Dia terpukul menyaksikan sang anak menghembuskan nafas terakhir. Dipeluknya erat-erat. Tak henti-hentinya memaki diri.

“Ayah macam apa saya ini. Tidak bisa melindungi anak sendiri. Saya memang tak berguna.”
“Maafkan bapak, Titi. Bapak tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan bapak.”

****

Ia berjalan menarik gerobak kumuh itu. Titi berbaring tak bernyawa. Kardus-kardus kumuh menutupi tubuhnya. Kini persoalan kedua datang, ia tak punya cukup uang untuk penyelenggaraan pemakaman. Di mana ia harus mendapatkan uang. Pusing kembali merambati pikirannya. Tak ada saudara di Tebet ini yang bisa ia pinjami. Orang-orang kaya terlalu tinggi tembok rumah mereka. Baru saja sekali bel dipencet, gonggongan anjing sudah menyambut. Dan mengemis hal yang paling pantang baginya.

Ia terus menarik gerobak kumuh itu. Setelah lelah berjalan, sampailah dia di stasiun kereta, Tebet. Ia akan membawa anaknya itu ke Bogor, Kampung Keramat, kampung kelahirannya. Di Tebet ini ia tak cukup uang untuk pengurasan jenazah anaknya. Uang dia hanya cukup untuk ongkos saja. Ia membopong si kecil dibalut dengan sarung lusuh. Sengaja ia lakukan itu agar orang tidak tahu kalau anaknya telah meninggal. Si Dursiki ia gandeng. Anaknya tersebut tidak tahu kalau adiknya telah meninggal. Orang-orang di dalam kereta tampak cuek tak ada yang memperhatikan. Ranpa disangka kereta berhenti mendadak. Kontan membuat gendongannya terlepas. Anaknya terjatuh membentur lantai. Sarung penutup badannya tersingkap.

“Hati-hati, Pak.” Ucap seorang penumpang seraya membantu mengangkat. Dan betapa kagetnya penumpang tersebut. Ia merasakan dingin menjalar ketubuhnya begitu memegang tangan anak kecil itu.
“Kenapa tangan anak bapak dingin sekali? Apa dia sakit?” Tanyanya kaget penuh penasaran. Tatapan orang-orang mulai menyapu Supriono.
“Tidak kenapa-napa, Pak. Dia hanya kurang enak badan.” Jawab Supriono kikuk.
Bapak tersebut tampak tak percaya. Dipegang nadinya. Tak berdetak. Dicek nafasnya, tak berhembus.
“Anak bapak sudah tidak bernyawa.”
Mendengar itu kontan saja segerbong heboh. Supriono sedikit takut dengan perubahan ini. Tapi kemudian dia segera menguasai diri.
“Iya, Pak. Dia telah meninggal satu hari yang lalu.” Terangnya.
“Lantas mau dibawa kemana dia.” Tanya penumpang lain tak kalah heran.
“Saya akan membawanya ke Bogor, kampung Keramat. Saya akan menguburkannya di sana.”
Kecelakaan kecil itu membuat ia berurusan dengan polisi. Ia diamankan oleh polisi setempat. Meminta keterangnnya kenapa anaknya itu bisa meninggal. Apakah ada unsur pembunuhan. Polisi tidak begitu saja percaya dengan penuturan para penumpang.
“Pak, saya harus segera menguburkan anak saya.” Mohon Supriono kepada polisi.
“Ma’af, pak, kami harus memeriksa anda, dan mengotopsi anak anda. Apakah benar ia mati secara wajar. Bukannya kami ingin merepotkan anda.”
Dengan terpaksa akhirnya Supriono harus mengikuti kata polisi itu. Ia digirng ke polsek setempat. Ia diintrogasi oleh seorang polisi yang kekar. Tampangnya sangar. Mengenakan baju kaos melar.
“Apa yang menyebabkannya meninggal?” Tanya polisi itu.
“Ia meninggal karena sakit, pak. Sakit perut.” Terang supriono.
“Kenapa bisa meninggal?”
“Kami tinggal di daerah kumuh. Makanan yang kami makan tidak sehat. Metabolisme tubuhnya tidak kuat. Hingga ia sakit. Suatu ketika makanan yang ia makan terkena virus. Dan saya tidak punya uang untuk mengobatinya! Saya hanya seorang pemulung kardus. Pengahasilan jauh dari cukup!”
“Saya tidak yakin dengan penjelasan yang anda berikan. Begitu benyak zaman sekarang akibat ketidak mampuan terjadi pembunuhan, termasuk anaknya sendiri.”
Mendengar itu supriono kaget. Ia tak menyangka polisi itu akan berkata demikian.
“Maksud bapak saya membunuh anak Saya.” Ucap Supriono berang. “Meskupun saya orang miskin, saya tidak sampai hati membunuh anak sendiri”
“Untuk mebuktikan kebenaran perkataan anda, kita akan mengotopsinya. Tapi mungkin besok kita akan berangkat. Karena rumah sakit agak jauh.”
“Tapi, pak, saya harus segera menguburkannya.”
“Ma’af, pak. Untuk melancarakn penyelidikan, saya harap bapak tidak menghalangi.”
“Ini bukan masalah halang-menghalangi, pak. Ini masalah penyegeraan pemakaman.”
"Bapak! Apakah anda ingin saya tahan di bui sini dengan tuduhan pembunuhan?” Ucap polisi itu marah.
Karena terpaksa lagi, akhirnya Supriono menurut saja. Ia tak mau urusan lebih panjang lagi.

****

“Pak Supriono,” seorang polisi memanggilnya.
“Saya, Pak.”
“Kami telah melakukan otopsi pada anak bapak. Dan kami mendapatkan beberapa memar dan lebam bekas benturan benda keras. Dan kami akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Dan dalam tahapan penyelidikan bapak kami tahan untuk sementara.”
“Ditahan, Pak.” Sontak Supriono terperanjat. “Apa yang telah saya lakukan, hingga mesti ditahan?” Tanyanya tak mengerti.
“Kami curiga ada yang tidak wajar dalam kematiannya.”
“tidak wajar bagaimana, pak? Bukannya sudah diotopsi?”
“Melihat memar-memar pada kulit anak bapak. Diansumsikan ada unsur kekerasan.”
“Tidak mungkin, Pak. Dia anak saya. Saya tidak pernah memukuli dia. Memar dikulitnya karena ia terjatuh dan membentur benda keras. Kulitnya tergores-gores tumpukan samapah keras.” Jelas Supriono penuh emosi.
“Itulah yang akan kami selidiki. Benar atau tidak perkataan bapak.” Ucap polisi itu sambil berlalu. Menyelipkan secarik kertas ditangan Supriono.
Supriono bingung. Tak mengerti maksud polisi itu. Kenapa polisi tersebut menghalangi langkahnya untuk segera menguburkan anaknya. Kenapa sulit sekali. Kenapa ia dipandang sebagai orang yang patut dicurigai atas kematian anaknya. Dia bukanlah seorang ayah yang tega menghabisi darah dagingnya. Dia bukanlah binatang buas yang untuk mempertahan hidup harus menghabisi sesama. Ia bukan penjahat.
Lunglai. Habis sudah tenaganya ditekan perasaan. Dibukanya lembaran kertas itu dengan malas. Betapa terperanjatnya ia membaca tulisan pada kertas itu. Ia tak percaya.

“saya bisa membantu memperlancar urusan anda. Dan segera menguburkan anak anda dengan segera. Tantunya dengan imbalan yang pantas. Silahkan datang ke ruangan saya. Kita bicarakan lebih lanjut.”
Supriono bingung. Heran. Zaman gila macam apa ini. Kenapa orang semiskin dia masih saja ada yang berharap. Tak ada yang dimiliknya. Kenapa masih ingin memakannya. Tak henti-hentinya Supriono bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang tidak menemui jawaban sedikitpun.

****

Karena memang tak ada yang dimiliki Supriono. Akhirnya polisi itu membebaskan dia. Dan akhirnya Suprionon dapat mengelus dada. Ia sudah dibolehkan untuk membawa kembali anaknya. Supriono tak habis pikir, kenapa untuk menguburkan anaknya mesti berbelit-belit. "Mungkin ini sudah takdir." Pikirnya. Ia hanya bisa pasrah menjalani semua. Mungkin ini adalah konswekensi dari keras kepalanya dulu. Yang tidak mendengar saran dan nasehat tetangganya. Kini ia baru menyesali.

Supriono sebenarnya adalah seorang saudagar di kampungnya. Sawahnya banyak, kebun luas. Ternak. Tambak. Banyak. Hidup di kampung membuat ia bosan. Dan ingin mencari sesuatu yang baru dalam kehidupannya. Ia ingin pergi merantau ke Tebet mengembangkan usaha. Dan di sana ia sudah memiliki kenalan. Kenalan itulah yang akan membantunya nanti. Ia sudah begitu percaya pada semua perkataan kenalannya tersebut. Tak ada curiga. Para tetangga sudah memperingati. Kalau kenlannya itu bukanlah orang yang jujur. Tapi ia tak percaya dan menulikan telinga.

“Sudah banyak korban penipuannya. Kamu jangan percaya pada semua gombalan dan retorika dia.” Seorang tetangga mengingatkan suatu saat.
“Tapi hati saya berkata lain, Pak. Saya yakin bisa bekerja sama dengan dia.” Jawabnya membela diri.

Tetangga itu tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada haknya untuk melarang. Sebagai tetangga ia sudah menjalankan tugasnya. Mengingatkan.
Belum genap satu tahun. Perkataan tetangga Supriono menjadi kenyataan. Semua uangnya habis ditilap oleh kenalannya tersebut. Atas musibah ini. Istri Supriono syok. Dan tak tahan. Lalu meninggal. Semua harta telah dijual untuk modal usaha yang tidak jelas ujudnya. Kini, tinggallah Supriono dengan dua anaknya terkatung-katung di Tebet. Malu ia memperlihatkan wajahnya pada tetangganya. Dan hal itulah yang membuat ia tak berani pulang. Ia sudah mencari pekerjaan kesana kemari, tapi tak ada yang mau menerimanya. Memang sulit meyakinkan orang lain di Tebet ini. Jalan terakhir yang dilakukan Supriono menjadi pemulung. Dan disanalah musibah kedua menimpa anaknya, Titi Khairunnisa. Hidup dilingkungan kumuh. Kerja kumuh menyebabkan penyakit menghatam putrinya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Foto - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template